Sebagai orang tua sudah sebaiknya mengetahui dan memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan buah hatinya. Agar tumbuh dan kembang seorang anak dapat optimal, khususnya pada periode emas, orang tua harus lebih sensitif terhadap semua aspek tumbuh dan kembang. Menurut dr. Purboyo Solek, Sp.A(K) paradigma baru untuk melihat aspek perkembangan seorang anak tidak cukup hanya melihat aspek motorik, bahasa, kognitif dan sosialnya saja namun perlu ditambah dengan aspek perilaku dan fungsi eksekutifnya. Cara paling mudah bagi orang tua untuk mengetahui perkembangan anak terganggu atau tidak adalah dengan melihat capaian perkembangan normal (milestone) anak. Delay Menurut dr. Kristiantini Dewi, Sp.A dalam Webinar “Mempersiapkan Massa Depan Anak Berkebutuhan Khusus: Autisme dan Disabilitas Intelektual”, banyak orang tua yang keliru terhadap persepsi tentang delay. Delay dalam bahasa Indonesia berarti terlambat dan delay bukan suatu diagnosis. Kekeliruan ini yang dapat mengurangi peluang anak untuk mendapatkan intervensi dini secara benar. Beberapa syarat seorang anak dikatakan terlambat perkembangannya, yaitu: - Selisih usia kronologis dengan usia mental perkembangan tidak besar (<6 bulan). - Usia kronologis tidak lebih dari 3 tahun. - Tidak ada kelainan susunan saraf pusat. - Jika mengenai <2 domain perkembangan disebut Global Developmental Delayed (GDD). - Jika diintervensi secara dini dan benar bisa mengejar ketertinggalannya. Delay dalam perkembangan artinya kondisi dimana capaian perkembangan saat ini tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Disabilitas Intelektual Berbeda dengan delay, retard (retardasi/ keterbelakangan) mempunyai kriteria yang sebaliknya dari delay. Retard sering dikaitkan dengan Disabilitas Intelektual (DI). Menurut American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (AAIDD), DI atau yang dulu disebut Mental Retardasi adalah defisit kognitif yang signifikan, yang telah ditetapkan melalui ukuran kecerdasan standar dan juga defisit yang signifikan dalam keterampilan fungsional dan adaptif. The Diagnosis and Stastical Manual of Mental Disorders 5th Edition (DSM-5) lebih menekankan pada fungsi adaptif. Kemampuan adaptif meliputi keterampilan konseptual seperti membaca, menulis, berhitung dan penalaran. keterampilan sosial meliputi simpati, dan empati, sedangkan keterampilan praktis meliputi kemampuan merawat diri. Anak dengan disabilitas intelektual memiliki nilai Intelligence Quotient (IQ) dibawah 70. Nilai IQ menentukan derajat keparahan disabilitas intelektual. DI ringan memiliki skor IQ dikisaran 55-69, DI sedang 40-54, DI berat 25-39 dan skor IQ DI sangat berat dibawah 25. Derajat keparahan DI juga biasanya ditunjukan dengan adanya perilaku autistik, seperti Gaze (menatap), Clapping (tepuk tangan), Flapping (mengepak-ngepak), dan self injury (menyakiti diri sendiri). Hal ini yang sering tertukar antara anak dengan DI berat dengan Autism. Potensi Akademis dan Bekerja Tatakelola DI tidak terbatas untuk memperbaiki perilaku nya saja, namun sampai dengan pengelolaan DI lebih lanjut berdasarkan potensi-nya. Anak dengan DI dapat dibedakan menurut tingkat pendidikan dan bekerja. Menurut Kaminer R dan Cohen (1998), level Borderline (nilai IQ 70-89) dapat sekolah reguler sampai dengan kelas 6 Sekolah Dasar, mampu mandiri dan dapat bekerja. Sedangkan DI ringan (nilai IQ 55-69) dapat sekolah sampai kelas 4-5 Sekolah Dasar, kehidupan sehari-hari ralatif mandiri, jenis pekerjaan membutuhkan pelatihan khusus. DI sedang (nilai IQ 40-54) dapat sekolah hanya sampai kelas 1-2 sekolah dasar, kemampuan bantu diri mampu berpakaian dan mampu membersihkan diri sendiri, serta menyiapkan makanan, untuk pekerjaan membutuhkan jenis pekerjaan yang terawasi. DI berat (nilai IQ 25-39) sulit sekali untuk membaca dan menulis, kemampuan bantu diri dapat dilatih membersihkan diri namun dengan bantuan, untuk pekerjaan membutuhkan jenis pekerjaan yang terawasi. DI sangat berat (nilai IQ dibawah 25) tidak mampu untuk sekolah reguler, kemampuan bantu dirinya sedikit yang bisa dilatih untuk membersihkan diri sendiri, jenis pekerjaan sangat terbatas.
Adapun faktor risiko seorang anak mengalami DI, diantaranya: 1. Pada masa kehamilan, misalnya: a) Ibu sering mengkonsumsi alkohol, atau terpapar racun dari lingkungan seperti zat timbal, merkuri. b) Infeksi penyakit seperti Rubella pada periode 3-8 minggu bisa mengakibatkan DI dan kecacatan fisik. c) Kurangnya asupan nutrisi ibu saat hamil. d) Adanya kelainan kromosom, misalnya trisomy 21 pada Down Syndrome, adanya mutase gen FMR1 pada Fragile-x, dll. 2. Pada masa kelahiran a) Kekurangan oksigen pada masa persalinan. b) Rendahnya skor APGAR saat persalinan. 3. Pasca melahirkan sampai usia perkembangan a) Adanya masalah kesehatan, seperti ensefalitis, meningitis, dehirasi berat karena diare sehingga anak sampai pada kondisi koma, dll, kejang/ epilepsi dengan durasi yang lama. b) Cedera karena kecelakaan, seperti benturan kepala. c) Kurangnya nutrisi dan stimulasi. (Hamdallah) Sumber: - Dr. Purboyo pada “Two Weeks Intensive Training”, Bandung 2020. - Dr. Kristiantini pada Webinar “Mempersiapkan Massa Depan Anak Berkebutuhan Khusus: Autisme dan Disabilitas Intelektual”, 2021. - https://www.kemenpppa.go.id/